Saturday, January 19, 2013

Ki Manteb Soedarsono, Hidayah Lewat Sang Buah Hati

Ki Manteb Soedarsono, Hidayah Lewat Sang Buah Hati

Anak adalah anugerah Allah yang tak terhingga. Ia bagaikan permata
dalam sebuah keluarga. Menghadirkan kesenangan dan kebahagiaan di kala
susah. Dan menjadi penghibur di saat sedih. Karena itu, tak lengkap
bila kebahagiaan yang dirasakan tanpa kehadiran seorang anak dalam
keluarganya.

Sebagai seorang anak, sudah semestinya untuk menaati segala yang
diperintahkan kedua orang tuanya, selama perintah itu tidak
bertentangan dengan ajaran Islam. Lalu, bagaimana bila anak tak mau
menuruti kehendak orang tuanya, sementara orang tuanya masih belum
menjalankan kewajibannya sebagai seorang Muslim? Berdosakah ia (anak itu)?



Mungkin, pertanyaan itu layak diajukan pada dalang kondang, Ki Manteb
Sudarsono (60). Bagaimana tidak, bila seharusnya seorang anak
berkewajiban untuk taat dan menuruti perintah orang tuanya, ternyata
sang anak justru melakukan perlawanan hingga melancarkan aksi mogok.

Dan ternyata, aksi mogok anaknya itu, membuat hati Ki Manteb 'Oye'
Sudarsono luluh. Dan ia pun 'harus' menuruti kemauan sang anak. Ia
takluk. Padahal, dalam keseharian, sang dalang yang pernah dijuluki
sebagai dalang setan ini, terbiasa tegar dan teguh saat memainkan anak
wayang adegan perang tanding dalam dunia pakeliran.

Dalang kondang yang piawai dalam bidang olah sabethingga dijuluki
dalang setan ini tidak kuasa menghadapi gerilya si buah hati, hingga
akhirnya memeluk Islam. Perjuangan panjang ditempuh si bungsu, Danang
buah perkawinan dengan Srisuwarni (almarhumah). Ketika itu, si bocah
baru duduk di kelas tiga sekolah dasar (SD). Namun, bocah berperawakan
mungil itu mampu meluluhkan hati sang bapak yang berhati keras dan
temperamental dalam bersikap.

Menurut Ki Manteb, saat itu ia tengah duduk termenung di teras rumah
di Desa Doplang, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar, Jawa
Tengah. Cuaca gerah lantaran sengatan terik matahari persis di atas
ubun-ubun. Ia melihat si anak, Danang, dan bocah sebayanya, tengah
berjalan kaki di pematang sawah hendak menjalankan shalat Jumat.

''Wow iya, bocah semono mlaku telung kilometer turut galengan
panas-panas neng desa tonggo mung arep shalat Jemuah, (Oh iya, anak
segitu jalan kaki tiga kilometer di pematang sawah, panas-panas, ke
desa tetangga hanya untuk melaksanakan shalat Jumat),'' batinnya.

Saat itu, keimanan Ki Manteb, masih campur aduk. Islam tidak, Hindu
tidak, dan Kristen juga tidak. Melihat anaknya sedang menuju masjid,
terenyuh juga hatinya yang keras bagai batu itu. Ia terketuk. Dalam
hatinya, ia berkata, Seandainya di dekat rumahnya ada masjid, pasti
anaknya tidak lari panas-panas di pematang sawah sambil menggamit kain
sarung kalau hanya untuk melaksanakan shalat Jumat.

Menjelang pelaksanaan shalat Jumat, Ki Manteb menghampiri si anak. Ia
menyarankan, agar anaknya naik mobil diantar sopir menuju masjid, biar
tidak kepanasan. Tak dinyana, sarannya itu ditampik sang anak. Anaknya
bersikap acuh. dan mengatakan sesuatu yang sangat menusuk hatinya.
''Mending jalan. Biar jauh jaraknya ke masjid, pasti pahalanya banyak.
Saya mau naik mobil, asal bapak juga ikut shalat,'' tegas Danang.

Pernyataan anaknya itu, benar-benar membuatnya harus berpikir keras.
Namun, tak sempat ia memberikan jawaban, sang anak sudah pergi.
Tinggal dia sendiri sambil termenung. Ia membayangkan sikap anaknya
yang atos (keras) seperti sikapnya selama ini. Ia merasa berat
melaksanakan shalat. Jangankan shalat Jumat, shalat lima waktu lainnya
pun sering ia tinggalkan.

Namun, sikap anaknya yang keras dan mengatakan hanya akan mau naik
mobil kalau dia juga shalat, terus membayanginya. Ia lalu berencana
untuk membangun masjid di dekat rumahnya. Tak berapa lama kemudian,
rencananya itu ia wujudkan dengan membangun masjid. Apalagi, ketika
itu kariernya sebagai dalang, juga makin naik pamor. Dan dalam tempo
delapan bulan, berdirilah sebuah masjid. Persis di depan rumahnya.

Namun, ketika masjid sudah berdiri, bukannya tambah senang, sebaliknya
ia merasa hatinya tambah gundah. Sebab, ia tidak pernah datang ke
masjid. Apalagi melakukan shalat di dalamnya. Hampir setiap hari, Ki
Manteb jadi bahan ejekan dan olok-olokan rekan seprofesinya. Saban
pentas wayang kulit sebulan sekali, Selasa Legen memperingati hari
kelahirannya di rumahnya, ia mesti kena sindir. Setiap dalang yang
pentas mengkritik. ''Lha iya, sudah bangun masjid megahnya seperti
ini, kok belum shalat juga,'' sindir para dalang itu.

Begitu juga dengan sikap Danang. Si kecil ini tak bosan-bosan
mengajaknya untuk mendirikan shalat. Bahkan, si bocah yang baru kelas
tiga SD itu, meminta bantuan Ki Anom Suroto salah seorang dalang
senior agar membujuk bapaknya untuk shalat.

''Pakde, mbok bapak diajak shalat. Wong sudah membangun masjid, kok
belum shalat juga,'' rayu Danang pada Ki Anom. Dan, dalang kondang
asal Solo itu pun terenyuh dengan permintaan Danang. Ia membujuk Ki
Manteb untuk mendirikan shalat.

Keras bagai batu
Berbagai bujukan dan rayuan, baik dari anaknya maupun rekan sesama
dalang, tak menggoyahkan hati Ki Manteb untuk mengerjakan shalat. Ia
malah makin kukuh pada keyakinannya. Islam tanpa harus shalat. Hatinya
mengeras bagai batu karang. Tak runtuh oleh deburan ombak yang keras.

Namun, upaya Danang tak berhenti sampai di situ. Sikap keras ayahnya,
ia lawan dengan keras pula. Mogok. Danang emoh pulang dan tinggal di
rumah. Ia lebih memilih masjid sebagai sarana untuk mengubah sikap
ayahnya.

Hari-harinya dihabiskan di masjid. Berangkat sekolah dari masjid.
Pulang sekolah juga ke masjid. Tidak mau pulang ke rumah. Tidur juga
di masjid. Kalau tidak dikirim ransum (makanan--red) dari rumah, juga
tidak mau makan.

Ibundanya, Srisuwarni, yang mengalah. Setiap hari, sang bunda mengirim
bekal makan ke masjid untuk anak tercinta. Melihat hal ini, emosi
dalang pengagum sosok Buto Cakil dan 'Ketek' Anoman ini, makin tak
keruan. Ia dongkol campur jengkel. Ki Manteb menganggap anak ragil
(bungsu), sudah tidak bisa diatur. Batinnya muntab. ''Dasar anak
kurang ajar, berani mengatur orang tua,'' batin Ki Manteb.

Hari demi hari, bulan demi bulan, hingga bertahun-tahun, perang urat
syaraf antara anak dan bapak ini, tak berhenti juga. Belum ada
gencatan senjata atau kata damai di antara keduanya. Perang terus
berlanjut, hingga tiga tahun lamanya.

Selama itu pula, Ki Manteb dan anaknya neng-nengan (diam, tak bertegur
sapa) dengan anaknya, Danang. Tidak ada komunikasi ini sejak Danang
duduk di kelas tiga hingga kelas enam SD. ''Anak itu saya biarkan
selama tiga tahun, dari 1992 sampai 1995,'' ungkap Ki Manteb.

Namun, hidayah Allah SWT, akhirnya mampu membuka hati Ki Manteb yang
keras bagai batu itu menjadi lembut. Ketika itu, Desember 1992,
istrinya, Srisuwarni, dan kedua anaknya (Danang dan Gatot) hendak
melaksanakan umrah. Mereka bertiga, hendak pamit ke Tanah Suci.

Dari sini, mulai muncul kesadaran Ki Manteb. ''Saya ini bekerja cari
duit, ya untuk anak istri. Masak, anak istri di Makkah, saya
ongkang-ongkang sendirian di rumah,'' ujarnya. '' Keglelengan
(kesombongan) saya saat karier menanjak, duit banyak, saat itu runtuh
perlahan-lahan. Ini semua karena terpengaruh anak-istri. Maka, saya
memutuskan, saya harus ikut umrah juga,'' lanjutnya. Ia mengaku kalah
dengan sikap anaknya.

Karena itu, sebelum berangkat umrah, Ki Manteb mengikrarkan diri
mengucap dua kalimat syahadat di masjid yang dibangunnya. Kalangan
seniman, pejabat pemerintah daerah, tokoh masyarakat, dan tokoh agama
diundang. Termasuk Bupati Karanganyar saat itu, Sudarmaji. Pimpinan
Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, KH Muhammad Amir SH,
yang menuntunnya mengucapkan dua kalimat syahadat.

Semua agama
Awalnya, Ki Manteb mengaku, tak begitu yakin dengan semua agama yang
ada. Baginya, agama apa pun, sama saja. Karena itu pula, ia pernah
mengikuti semua agama dan aliran kepercayaan. Pernah menjadi penganut
agama Hindu, Budha, Kristen, Katolik, maupun beragam aliran
kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa (YME). Berpindah-pindah agama
hal yang biasa. Dan, selalu berakhir dengan ketidakyakinan dan
ketenteraman. Menurut Ki Manteb, kala itu, semua agama itu baik. Semua
itu tergantung pada manusia yang menjadi penganutnya.

Namun, setelah memahami dan mendalami serta merasakan betapa kuatnya
keyakinan sang anak terhadap agama Islam, ia pun merasa lebih tenteram
saat menjadi seorang Muslim. ''Hati ini teduh, damai, dan pasrah pada
Tuhan,'' terangnya.

Maka, pada 1996, bersama keluarganya, Ki Manteb menunaikan ibadah
haji. Sebelum berangkat, ia sempat mengisi pentas wayang kulit di Hari
Ulang Tahun (HUT) Taman Mini Indonesia Indah (TMII) atas permintaan
Pak Harto dan Ibu Tien. Ketika itu, Pak Harto mendoakannya agar
menjadi haji yang mabrur. Dan saat tengah menunaikan ibadah haji, ia
menerima kabar bahwa Ibu Tien Soeharto meninggal dunia.

Seusai melaksanakan rukun Islam yang kelima, ia pun menyandang
predikat haji. Nama itu, ternyata menambah beban baginya. Sebab,
sepulang dari haji itu, berbagai olok-olokan kembali dialaminya dari
sesama dalang. Ada yang menyebutnya sebagai kaji abangan, kaji
kejawen, kaji merah, kaji campur bawur, kaji etok-etokan, dan
sebagainya. Namun, semua itu ia abaikan. Ia yakin, yang mengolok-olok
itu belum tentu lebih baih baik dari yang diolok-olok. ''Malah sudo
(berkurang) dosanya,'' katanya.

Pasrah dan Tawakkal Pada Allah

Sejak menjadi Muslim, Ki Manteb Sudarsono merasakan sebuah keajaiban
dalam dirinya. Ia merasa semakin pasrah dan tawakkal kepada Allah.
Dahulunya, kata Ki Manteb, hidupnya serba kemrungsung (tergesa-gesa).
''Kalau lagi sepi job (kerja), saya bingung, gelisah. Nanti makan
dari mana, ya. Namun, sekarang lebih semeleh (berserah diri). Ada
job atau tidak, biasa saja. Semua rezeki, Allah yang mengatur,''
terangnya.

Dan, benar saja. Semua dijalani mengalir seperti air. Falsafah Jawa,
Urip iku sakdermo nglakoni (Hidup itu hanya sekadar menjalankan),
terasa tepat untuknya. Kalau lagi sepi job, justru ia manfaatkan
untuk beribadah. Dan kalau lagi ramai tanggapan (permintaan), ia
senantiasa ingat Allah. ''Sekarang lebih gampang bersyukur. Selalu
bersikap pasrah dan berserah diri kepada yang kuasa. Hidup ini
dinikmati serba tenteram dan damai selalu,'' ujarnya.

Ki Manteb menyatakan, seorang dalang memiliki peran yang sangat
penting. Terutama dalam upaya sosialisasi, penerangan, dan mengajak
masyarakat pada kebaikan. Karena itu, dibutuhkan wawasan dan
pengetahuan keagamaan untuk mengajak orang. ''Dalang mesti mampu
menyampaikan pesan amar ma'ruf nahi munkar dalam dunia pekeliran,''
ujarnya. Edy Setiyoko/sya/taq

sumber:
http://www.republika.co.id/berita/97402/Ki_Manteb_Soedarsono_Hidayah_Lewat_Sang_Buah_Hati

No comments:

Post a Comment