Sunday, April 22, 2012

Besarnya tanggung jawab orangtua kepada anak

Tanggung jawab para orang tua terhadap anak-anak mereka seakan hanya
terbatas pada perkara dunia yang fana, dan terkesan mereka mengabaikan
perkara ukhrawi yang abadi.

Terbukti bahwa sebagian besar para orang tua memiliki cita-cita dan harapan
agar anak mereka dapat menjadi seorang dokter, insinyur, pilot, tentara, dan
lain-lain. Intinya adalah harapan duniawi belaka. Mereka beranggapan dengan
semua itulah anak-anak mereka dapat hidup dan meraih kebahagian.

Dan terbukti pula dari rasa kecewa yang sangat seandainya anak mereka
terlambat mengikuti ujian, sehingga mereka harus rela tidak tidur agar
anaknya tidak terlambat dan tertinggal pada saat ujian sekali lagi demi
sebuah kesuksesan dan masa depan sang anak. Tetapi jarang di antara para
orang tua yang menyesal dan kecewa saat anak mereka terlambat shalat Subuh
seperti penyesalan dan rasa kecewa mereka tatkala anak mereka tertinggal
ujiannya atau gagal dalam ujian. Bahkan para orang tua selalu bertanya
setiap hari kepada anak-anaknya tentang ujiannya. Apa yang mereka kerjakan,
bagaimana mereka menjawab, dan semoga jawabannya benar? Apakah mereka pernah
bertanya kepada anak mereka setiap harinya tentang perkara agamanya? Sudah
shalat belum? Dengan siapa berteman? Dan apakah pernah bertanya kepada
anak-anak mereka saat mereka tidak ada di rumah seharian, di mana mereka?

Para orang tua merasa begitu terpukul dan merasa gundah gulana ketika mereka
tahu bahwa anak-anak mereka bermalas-malasan dalam ujian, tetapi tidak
bersedih dan tertuntut ketika anak-anak mereka bermalas-malasan dalam
menjalankan sunnah dan kewajiban agama mereka. Mereka berikan dan penuhi
semua yang diinginkan anak-anak mereka, dan mereka melarangnya sementara
dari hiburan-hiburan, seperti menonton video, televisi, koran, majalah
supaya tidak melalaikan mereka dari menghafal dan menyiapkan ujian.

Sedikit sekali di antara para orang tua yang memikirkan untuk anak-anak
mereka tentang ujian yang tidak memiliki gelombang kedua. Tidak dapat
diulang jika gagal, atau 'diher' jika ada materi-materi yang tidak mencapai
target. Pilihan yang ada hanyalah lulus atau gagal. Gagal berarti dimasukkan
dan menetap di dalam Neraka. Ini juga artinya adalah kerugian yang nyata dan
siksa yang hina. Apakah mungkin ijazah, sertifikat prestasi, piagam
penghargaan, kedudukan dan kekayaan dapat menyelamatkan mereka dari adzab

Teramat langka rasanya kalau ada Orang tua yang bersungguh-sungguh
mencarikan seorang guru privat atau ustadz untuk mengajari anak-anak mereka
al-Qur'an dan sunnah. Yang ada para orang tua saat ini dalam mengekspresikan
rasa cinta dan kasih sayang mereka kepada anak mereka berupa menyediakan
pembantu, supir, mobil yang siap melayani mereka setiap saat. Bahkan
menyiapkan untuk mereka rumah yang penuh dengan hiburan-hiburan yang
diharamkan dan melalaikan mereka dari mengingat Allah Azza Wa Jalla dan
ta'at kepada-Nya. Mungkin seribu satu dari para orang tua yang memberikan
hadiah/ penghargaan saat anak mereka menghafal beberapa juz dari al-Qur'an
atau belajar hadits-hadits Nabi shallallahu `alaihi wasallam.

Sebagian orang tua menjanjikan anak-anak mereka berlibur keliling dunia,
mengunjungi pantai-pantai dan tempat-tempat rekreasi lainnya di seluruh
dunia atau membelikan mereka mobil mewah apabila mereka lulus. Tetapi tidak
pernah sekalipun menjanjikan anak-anak mereka, apabila sukses menghafal
al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi shallallahu `alaihi wasallam, sukses
melaksanakan haji dan lain-lain. Walhasil, seperti apa yang kita lihat,
al-Qur'an mereka ganti dengan majalah dan koran. Shalat diganti dengan
menonton konser musik. Majlis ta'lim diganti dengan tempat-tempat hiburan,
dan hasilnya muncullah generasi seperti binatang, sebagaimana firman Allah
Ta`ala, artinya, "Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih
sesat lagi. Meraka itulah orang-orang yang lalai." (QS. al-A'raf: 179)
Hendaklah para orang tua bersungguh-sungguh dalam mendidik dan menjaga
mereka dari hal-hal yang merusak serta tidak menyia-nyiakan mereka sebelum
datang penyesalan yang tidak ada arti dan sebelum kehinaan menimpa mereka
pada hari yang tidak ada gunanya lagi semua yang disesali.
Wallahu Ta'ala a'lam.

Bagaimana masa depan anak-anak kita kelak ?


Kalau hari ini kita masih ingat agama, dan merelakan keringat kita di
jalan-Nya, maka itu boleh jadi bukan keberhasilan kita. Kalau hari ini kita
ingat tentang tanggung jawab sesudah mati, sangat mungkin bukan karena kebaikan
yang sepenuhnya lahir dari kesadaran kita. Boleh jadi itu semua bukan merupakan
prestasi kita sendiri, melainkan justru terutama orangtua kita. Mereka menanam
benih-benihnya, lalu tumbuh mengakar di dada kita. Atau para guru kita yang
tulus menyemainya, lalu Allah kokohkan dalam hati kita.

Historia vitae magistra, sejarah adalah guru terbaik
kehidupan. Orang-orang yang mengambil pelajaran dari mereka yang
telah mendahului kita, Insya Allah akan tahu bagaimana memaknai
tugas hidup sebagai orangtua. Dari perjalanan saya ke timur dan ke barat, saya
melihat betapa tak bergunanya kebanggaan terhadap kreativitas dan kecerdasan
anak, ketika mereka tidak tahu jalan hidup
yang harus ditempuh. Bahkan ilmu agama
yang tinggi pun akan sia-sia kalau mereka tidak mempunyai harga diri yang
bersih serta tujuan hidup yang pasti. Betapa banyak anak-anak yang
memiliki keluasan ilmu agama, tetapi karena
kita salah menanamkan tujuan, mereka justru menjadi pembawa kesesatan dengan
ilmu yang ada pada dirinya.

Banyak orangtua yang berhasil mendidik anaknya bukan karena
kepandaiannya mendidik anak, tetapi karena doa-doa mereka yang tulus. Banyak
orangtua yang caranya mendidik salah jika
ditinjau dari sudut pandang psikologi, tetapi anak-anaknya tumbuh menjadi
penyejuk mata yang membawa kebaikan dikarenakan amat besarnya pengharapan
orangtua. Di antara mereka ada yang selalu membasahi penghujung malam dengan
airmata untuk merintih kepada Allah ‘Azza
wa Jalla. Di antara mereka ada pula yang menyertai langkah-langkahnya
dengan niat yang lurus dan bersih.

Di zaman ketika wibawa sebagian
ulama semakin rapuh, rasanya kita perlu menguatkan hati anak-anak kita.
Di masa ketika masjid-masjid justru sibuk mengundang artis, kita perlu
memperbanyak amal untuk memohon barakah Allah bagi kebaikan hidup kita dan
anak-anak kita. Sesungguhnya Allah yang menggenggam hati manusia.

Zaman bertukar dan dunia terus berubah. Pada masa kita kecil, alat
pengirim berita paling cepat adalah telegram. Sekarang, ketika kita belum
terlalu tua, telegram sudah tidak dipakai lagi. Telegram sudah menjadi
teknologi yang ketinggalan zaman. Sekarang melalui perangkat kecil di tangan yang bernama handphone/tablet, berita dari manca negara lengkap dengan fotonya bisa
kita akses setiap saat. Anak-anak yang masih ingusan bisa mendapatkan ilmu-ilmu
berharga lewat internet dengan kecepatan yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Tetapi pada saat yang sama, lihatlah di bilik-bilik warnet itu, bagaimana sejumlah anak kaum muslimin sedang
terombang-ambing di hadapan situs-situs porno.

Kita mungkin bisa mencegah dengan kekuasaan atas anak-anak itu. Tetapi
apa yang sanggup kita kerjakan sesudah kita
tiada? Tak ada. Itu sebabnya kita mulai perlu berpikir tentang bekal buat anak-anak kita sesudah jasad terkubur

Semoga Allah kuatkan iman kita. Semoga pula Allah memperjalankan kita
dalam takwa kepada-Nya. Semoga langkah kita senantiasa berada di atas niat yang
kokoh dan tujuan yang baik. Semoga setiap langkah kita membawa kepada ridha-Nya
dan meninggalkan bekas yang mantap di hati
anak-anak dan keturunan kita, sehingga mereka senantiasa memenangkan
bisikan takwanya. Amin