Thursday, May 6, 2010

MAKNA KEHIDUPAN "HUSNUL KHAATIMAH"

Ini di ambil dari Wisatahati.com, semoga bermanfaat

MAKNA KEHIDUPAN "HUSNUL KHAATIMAH"


“Khusnul
Khatimah adalah ujung perjuangan manusia. Manakala perjuangan terakhirnya berlansung dengan baik, insyaa Allah ia akan menikmati sisi terakhir dari kehidupannya di surga”.


Hidup
terasa begitu cepat. Dan waktu secara perlahan-lahan, senantiasa mengarahkan kita menuju kematian. Satu tahun berlalu berganti dengan dua tahun dan kian hari usia kita semakin bertambah. Semakin lama kematian itu semakin mendekat dan manusia tak mungkin lagi dapat menghindarinya. Ibarat sebuah medan ujian, dunia adalah babak prakualifikasi untuk menentukan siapa yang layak untuk mendiami istana surga yang abadi, dan siapa yang pantas untuk dimasukkan ke dalam bara api neraka.
Detik-detik kematian tak perlu dirisaukan. Orang-orang yang beriman akan menyambutnya dengan perasaan yang tulus, dari Allah SWT kita berasal dan kepada-Nya pula kelak kita kembali. Dalam kepastian menjemput kematian inilah husnul khaatimah menjadi idaman setiap orang mukmin. Karena pada detik akhir ini semua ditentukan, apakah kita akan menjadi orag yang bahagia, atau sebaliknya, semua tergantung pada detik-detik akhir ini. Husnul Khaatimah, merasa enjoy dan happy, bahagia di saat –saat terakhir kehidupan.

Setiap akhir pastilah ada awalnya. Begitu juga kalau ada husnul khaatimah itu sesungguhnya tidak hanya pada akhir kematian. Paling tidak ada empat kali periode yang kita jalani.

Pertama, saat keluar dari alam ruh (‘alamul arwaah). Dari alam ruh, kita keluar dan masuk ke alam kedua, yang disebut dengan ‘alamul arham (alam kandungan atau rahim ibu). Ketika dalam kandungan, ada satu masa di mana Tuhan “meniupkan” ruh-Nya kepada Adam yang sebelumnya hanya seonggok fisik saja
Tatkala Nabi Adam diciptakan dari tanah liat itu, dia tidak ada apa-apanya. Nabi Adam tak ubahnya seonggok sampah biasa. Nabi Adam mulai berharga dan bernilai, setelah Allah SWT meniupkan ruh-Nya itu dan menjadikannya sebagai khalifah (mandataris Tuhan) di bumi. Pada saat itulah kedudukannya melampaui makhluk spiritual yang ada sebelumnya, termasuk malaikat dan jin.

Di dalam alam rahim,terjadi peristwa spiritual yang disebut dengan “perjanjian primordial”, yang universal bagi seluruh mausia. Manusia dengan Tuhannya melakukan kontrak.

“Dan(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", (QS.Al-A’raaf : 172).


Apapun agamanya dan betapa pun kafirnya orang itu kemudian, sesungguhnya ia mengingkari perjanjian primordial itu dengan Tuhan. Seorang manusia tidak mungkin keluar kea lam fana (dunia) ini tanpa melalui perjanjian itu.

Terminal yang ketiga adalah alam fana (alam sementara). Di sinilah puncak prestasi manusia harus diperoleh. Dunia ini tempat beramal dan berprestasi yang menentukan masa depan kita di alam berikutnya. Kalau prestasi amal ibadah kita baik, maka mulai
terminal keempat yaitu alam barzakh sampai terakhir, alam akhirat nanti, kita kita akan merasakan efek dan pengaruh positifnya. Maka di sinilah perlunya kita mengkaji husnul khaatimah.

Husnul Khaatimah adalah ujung perjuangan manusia. Kalau perjuangan terakhirnya itu baik, insyaa Allah ia akan menikmati sisa terakhir dari kehidupannya. Menurut Nabi, “Barang siapa yang mengucapkan laailaahaillallah di akhir hayatnya (di penghujung pembicaraannya), ia dijamin masuk surga.”

Apakah hadis ini mengisyaratkan tidak pentingnya shalat, puasa, zakat, atau haji bagi kita? Bukankah dengan hanya mengafal kalimat laailaahaillallah yang nantinya kita ucapkan menjelang kematian, sudah cukupkah membuat kita masuk surga? Tentu saja jawabannya tidak. Persoalannya tidak sederhana menghafal. Kalimat ini kalimat sakral. Bisa jadi saat ini kita merasa mudah dan lancar melafadzkannya. Akan tetapi orang yang selalu dilumuri dengan dosa sepanjang hidupnya, lidahnya takkan sanggup mengucapkan laailaahaillallah. Atau dia punya dosa-dosa tertentu, sehingga lidahnya kelu untuk mengucapkan kalimat tauhid ini.

Diceritakan, suatu hari Rasulullah mendengar bahwa Al-Qama, salah satu sahabat dekatny, mengalami sakaratul maut, Rasulullah kemudian mengutus sahabat-sahabat terbaiknya yang lain untuk membantu ta’ziyyah mayitnya. Alangkah kagetnya para sahabat yang dating pada saat itu. Al-Qama yang dikenal rajin ikut berjihad bersama Rasulullah, tidak sanggup mengucapkan laailaahaillallah, tetapi kata-katanya lancar, ia memanggil siapa saja.

Bersamaan dengan itu, sahabat segera mengubungi Rasulullah. “Ya Rasul. Ada sesuatu yang aneh terjadi pada sahabat kita Al-Qama,” lapor sahabat. “Apa yang terjadi padanya?” Tanya Rasulullah. “Sahabat kita, Al-Qama, tidak sanggup mengucapkan laailaahaillallaah.” Rasul pun datang menemui Al-Qama,seraya bertanya, “Apakah kamu mengenalku?” “Saya sungguh mengenalmu ya Rasulullah!” jawab Al-Qama. “Bacalah laailaahaillallaah kata Nabi. Berkali-kali Rasulullah menuntunnya, Al-Qama tetap tidak bisa. Mulutnya terasa terkunci, dan kalimat tauhid ini seakan berat untuk diucapkan. Anehnya, Al-Qama bisa berkata selain kalimat tauhid itu.

“Tolong panggilkan ibunya,” Rasulullah menyuruh sahabatnya. “Ibunya tidak ada ya Rasulullah.” “Tapi masih hidupkah dia?” tapi masih hidupkah dia?” Tanya Rasulullah. “masih hidup,” jawab para sahabat. Diutuslah seorang sahabat untuk memanggil ibu Al-Qama atas nama Rasulullah. Setelah ibunya datang, Nabi bertanya, “Mengapa ibu tidak datang, saat anak ibu sakit seperti ini?” “Saya memang belum sanggup datang ke sini. Sekiranya bukan Rasul yang memanggilku untuk datang, saya takkan datang”. Tutur ibu itu lirih.

“Kenapa?” Tanya Rasul. “Saya tersinggung oleperlakuan anak ini.
Semenjak ia kawin, ia tak ingat lagi untuk mengurusiku. Padahal ia anak satu-satunya.” Jawab ibu itu. “kalau demikian sanggupkah Ibu memaafkan anak Ibu?” pinta Rasul. “Hati saya belum rela memaafkannya, hatiku terlalu sakit”. Jawab Ibu itu kemudian. Lalu Rasulullah memerintahkan para sahabatnya. untuk mengumpulkan kayu baker. Tak lama kemudian, kayu bakar itu bertumpuk di depan Al-Qama. “Untuk apa kayu bakar itu ya Rasulullah?” Tanya ibu tadi heran. Nabi menjawab, “lebih baik api dunia yang membakarya, daripada api neraka yang menyala dan dahsyat panasnya.

Jika engkau tak mau memaafkan anakmu, lebih baik anakmu kami baker!,”pekik bu itu seraya mengucurkan air mata. “Saya memang benci anakku, tapi tak ingin ia mengalami malapetaka seperti itu. Sudahlah, saya maafkan anak saya,” lanjut ibu itu. Begitu kata maaf itu keluar darimulut sang ibu, meluncurlah kalimat laailaahaillallah dari mulut Al-Qama. Rasulullah dengan sahabat-sahabatnya serempak melantunkan innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.

Cerita ini, menggambarkan kepada kita, betapa susahnya meraih husnul khatimah itu. Tidak sekedar lancar mengucapkannya. Betapapun shalehnya seseorang, ia pasti takut menghadapi sakaratul maut
itu. Mari kita renungkan masa lalu kita. Gelapkah perjalanan hidup kita? Ataukah justru sebaliknya? Kita adalah orang paling tahu masa lalu kita sendiri. Berapa orang yang kita korbankan demi memenuhi kepentingan kita. Berapa orang yang kita tipu. Berapa orang yang telah kita buat resah. Belum lagi dosa kita kepada Allah. Ternyata gelap masa lalu kita.

Siapa yang tidak takut mati, ketika membanyangkan masa lalunya yang sarat dengan dosa. Kalau Tuhan tidak memaafkannya, apa jadinya kita ini? Mari kita renungkan siapkah kita menghadapi kematian ini? Apa bekal kita untuk masa depan kita setelah kematian? Karena cepat – lambat pasti menjemput kita?

Masalah husnul khatimah,tidak bisa kita ukur dengan ukuran-ukuran formal. Kadang, tetangga kita yang biasa-biasa saja, mengalami kematian yang syahdu sembari tersenyum. Sebaliknya, seorang kiai yang perstasi amalnya-dimata kita-baik sekali, justru menghadapi siksaan yang luar biasa pada detik-detik ajalnya, bukanlah jaminan bahwa amal tetangga kita yang biasa-biasa, lebih baik daripada kiai yang shaleh itu.

Dalam literatur Islam dikatakan, bisa jadi, orang yang tesenyum saat menjelang kematiannya, masih ada sisa-sisa kebaikan yang pernah dilakukannya, tapi setelah itu ia langsung masuk neraka. Sebaliknya, mungkin masih ada sedikit dosa-dosanya yang diampuni Tuhan, maka, detik-detik terakhir hidupnya ia diberi kesempatan untuk mencuci dosa-dosa itu, dengan dibiarkan menderita saat menjemput maut. Sebab, penyakit adalah penghapus dosa. Rasulullah bersabda, “Orang yang diuji dengan berbagai penyakit, kemudian orang itu sabar, maka ia akan menghapus dosa-dosa masa lalunya.”

Ada beberapa peristiwa yang menurut Rasulullah disebut sebagai pencuci dosa. Antara lain: seorang perempuan yang melahirkan seorang anak dan meninggal dalam keadaan masih bayi. Insyaa Allah orang itu akan mendapatkan peluang untuk husnul khatimah. Atau orang yang
melahirkan lalu meninggal. Kita tidak bisa menentukan orang itu hsnul khatimah atau su’ul khatimah. Yang berhak menilai dan yang tahu persis hanya Allah Swt.

Memang,dalam kitab kuning disebutkan, ciri-ciri orang yang meninggal dalam keadaan baik, antara lain: mampu mengucapkan kalimat laailaahaillallaah. Bahkan ada yang ingin meninggal dalam keadaan sujud di depan kebesaran Tuhan. Kita bisa berdoa untuk meraih husnul khatimah.
Kita memohon dilindungi dari kematian dalam keadaan yang hina dina.
Tidak sedikit orang yang meninggal di tempat pelacuran. Padahal mungkin pada masa lalunya sangat bagus.

Bagaimana mempersiapkan husnul khatimah itu? Kita tidak bisa mengatur skenario pada detik-detik kematian kita. Karena sesungguhnya, husnul khatimah itu diperoleh melalui akumulasi rangkaian panjang amal perbuatan kita. Wallahu A’lam Bis Shawab.

Kiat menghadapi krisis

“Orang yang mampu bertahan dalam suatu krisis adalah mereka yang secara aktif mencari suatu pemecahan. Mereka haus akan informasi-informasi yang membantu. Mereka tidak mau menyalahkan diri mereka sendiri dan orang lain, sambil menyadari bahwa hal itu merupakan suatu penghindaran dari masalah yang sebenarnya. Mereka tidak malu untuk mengungkapkan perasaan takut dan gelisah. Mereka belajar bagaimana beristirahat ketika kemampuan mereka menurun karena kelelahan, dan bagaimana mendisiplinkan diri sendiri untuk kembali pada usaha yang harus dilakukan dengan susah payah setelah mereka pulih kembali. Mereka dapat menerima, bahkan meminta bantuan, mengingat hal ini bukanlah suatu tanda kelemahan namun kedewasaan.”

Nasehat yang menarik ini saya dapatkan dari tulisan Gerald Caplan, M.D. yang berjudul “Bagaimana Mengatasi Suatu Krisis”. Saya ingin mengurainya lebih dalam lagi agar terasa mengena di hati.

Pertama, “mereka yang secara aktif mencari suatu pemecahan”. Kita harus terus berupaya menemukan solusi yang tepat dari krisis yang kita hadapi. Jika kita sudah berusaha, tentu Allah akan memberi kita jalan keluar. Ini artinya, apa yang kita lakukan itu bukanlah suatu hal yang sia-sia, melainkan pengorbanan yang kelak akan membuahkan hasil yang manis. Krisis itu akan segera pudar seiring dengan ditemukannya solusi yang tepat. Hal ini juga berarti, dalam hidup ini, kita tidak boleh tinggal diam. Kita harus bergerak untuk menghasilkan karya terbaik dalam kehidupan kita. Karena, apa yang kita lakukan akan kembali pada diri kita. Jika bekerja, kita akan mendapatkan uang. Jika berprestasi, kita akan mendapatkan pujian dan penghargaan. Jika melakukan kebajikan, kita akan mendapat pahala. Mencari solusi terhadap suatu krisis justru akan meningkatkan energi dan menghilangkan kelelahan mental kita. Segeralah mencarinya sampai Anda mendapatkannya.

Kedua, “mereka tidak mau menyalahkan diri mereka sendiri dan orang lain”. Menyalahkan diri kita atau orang lain bukan solusi yang baik. Karena hal itu tidak akan ada habis-habisnya. Kita akan sering mengeluh bahkan mencaci maki diri kita sendiri. Apakah dengan cara seperti itu masalah akan segera dapat diatasi? Oleh karena itu, kita harus lebih menatap ke depan ketimbang ke belakang. Kita harus meyakini bahwa masa lalu telah berlalu dan tidak akan kembali lagi. Di depan kita terbentang kesempatan untuk meraih kebahagiaan dan kesuksesan yang kita inginkan. Cukuplah apa yang terjadi di masa lalu sebagai pelajaran bagi diri kita, agar kejadian yang sama tidak terulang lagi di masa depan.

Ketiga, “mereka tidak malu untuk mengungkapkan perasaan takut dan gelisah”. Manusia tidak ada yang sempurna. Manusia tidak ada yang lepas dari kesalahan. Manusia harus memperlihatkan dirinya apa adanya. Rasulullah adalah orang yang paling mulia, tapi beliau pernah menangis, takut, dan gelisah. Bagaimana kita bisa mengetahuinya? Semua itu dapat kita baca dari perjalanan hidup beliau yang terungkap dalam sunnahnya. Beliau pernah berdoa sesaat sebelum perang Badar dengan doa seorang hamba yang mengharapkan pertolongan-Nya. Beliau takut jika pasukan muslim mengalami kekalahan maka sirnalah Islam. Doa itu didengar sendiri oleh sahabat-sahabatnya. Seorang Abu Bakar ash-Shiddiq – sahabat yang dijamin masuk surga – juga pernah merasa bersedih saat berada di gua Tsur. Lalu Rasulullah mengatakan, “Jangan bersedih, sesungguhnya Allah beserta kita.”

Tetapi, kita tidak harus mengungkapkan perasaan takut dan gelisah kita kepada semua orang. Cukup dengan orang-orang yang kita sayangi dan terdekat dengan kita. Mudah-mudahan mereka dapat memberikan solusi agar kita dapat keluar dari krisis itu. Dan yang paling baik adalah apabila kita mengungkapkan perasaan itu kepada Allah, Tuhan yang menguasai alam semesta. Bermunajatlah kepada-Nya, menangislah kepada-Nya, sampaikan perasaan takutmu kepada-Nya, sampaikan keluh kesahmu kepada-Nya. Allah adalah sebaik-baik tempat kita mencurahkan segala isi hati. Allah adalah sebaik-baik tempat kita bergantung. Jika kadang manusia – meskipun dia orang yang mencintai dan menyayangi kita – merasa bosan dengan segala curahan hati kita, maka Allah tidak pernah bosan mendengarnya. Yakinilah bahwa Allah Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui, dan Maha Mengabulkan doa.

Keempat, “mereka belajar bagaimana beristirahat ketika kemampuan mereka menurun karena kelelahan, dan bagaimana mendisiplinkan diri sendiri untuk kembali pada usaha yang harus dilakukan dengan susah payah setelah mereka pulih kembali”. Beristirahatlah untuk memulihkan kekuatan kita. Fisik yang terlalu di porsir justru akan menimbulkan efek yang tidak baik bagi kesehatan tubuh. Kadang kita perlu berhenti sejenak dari melakukan rutinitas kita. Melihat pemandangan, berjalan-jalan, hingga membantu pekerjaan rumah tangga, sepertinya sepele, tapi dari sanalah jiwa-jiwa kreatif itu dapat kembali muncul – yang kelak akan membantu kita mengatasi krisis yang sedang kita hadapi. Seperti halnya sebuah batu baterai yang perlu di charge, jiwa kita pun demikian. Ia akan kembali menyala jika kita memberikan kesempatan pada jiwa kita untuk beristirahat.

Kelima, “mereka dapat menerima, bahkan meminta bantuan, mengingat hal ini bukanlah suatu tanda kelemahan namun kedewasaan”. Mereka menerima krisis itu sebagai suatu dinamika kehidupan yang harus mereka terima. Mereka tidak menghindar darinya, tapi berusaha menghadapinya. Mereka tidak malu meminta bantuan kepada orang lain, karena jika tidak, mereka adalah orang yang sombong. Ini bukan kelemahan, melainkan kedewasaan kita. Kita telah menunjukkan kepada orang lain bahwa kita bukanlah sosok super yang bisa mengatasi segala sesuatunya seorang diri. Kita adalah manusia yang berhubungan dengan manusia lainnya. Kita membutuhkan orang lain, sebagaimana orang lain membutuhkan kita.

Kelima poin di atas – walaupun mungkin saja perlu penambahan – adalah sangat penting untuk kita perhatikan. Ia menawarkan kiat efektif agar kita dapat keluar dari krisis dengan tanpa kegaduhan dan gejolak yang dapat membunuh kita. Tidak ada salahnya kita amalkan karena, insya Allah, itu baik bagi kita.

Wednesday, May 5, 2010

Ketika kita putus asa

Ketika kita putus asa

Sekarang banyak orang yang merasakan putus asa, dengan banyak sebab, ada yang putus asa Karena hingga sekarang belum juga diterima bekerja oleh perusahaan yang pernah ia kirimi surat lamaran kerja, ada yang putus asa Karena ditinggalkan pacarnya menikah dengan orang lain, ada yang putus asa karena usaha yang dirintisnya dari O belum juga bisa berkembang, ada yang putus asa kepada kepemirintahan indonesia yang semakin bobrok saja, ada yang putus asa karena hal yang lainnya…

Putus asa adalah sebuah rasa yang sepertinya sekarang sedang mewabah dikalangan masyarakat Indonesia…. Orang – orang menyikapi keputus asaan dengan banyak cara, ada yang menghadapinya dengan tepat yaitu selalu optimis dan selalu semangat untuk bangkit lagi. Namun kebanyakan orang malah memilih sikap yang buruk untuk mengatasi keputus asaan ini, dengan apa??? Kita lihat saja. Disekitar kita banyak orang yang sedang putus asa dan menyikapinya dengan mengurung diri seakan dirinya orang paling rendah di bumi, atau malah merendahkan dirinya hingga akhirat dengan bunuh diri, ada malah orang yang putus asa lalu saraf-saraf otaknya terputus hingga menyebabkan kegilaan.

Kita sebagai muslim harus menjauhkan rasa putus asa ini, bahkan kita harus memutuskan peredaran rasanya dihati, karena ini bisa mengakibatkan penyakit hati yang lebih sakit dan dalam. Tetap berlindung pada Allah SWT atas apa yang kita lakukan, yang kita katakan serta apapun yang kita pikirkan. Ada satu lagi kalo kita Ikhlas, virus Putus ASA tak akan bisa mampir di benak dan hati kita.

“ Hanya kepada Allah kami berserah diri”

Pernyataan di atas sering sekali disalahartikan oleh sebagian orang.Apabila seseorang ditimpa sebuah musibah atau ketika mendapat suatu masalah yang sulit untuk dipecahkan,maka orang tersebut akan berkata “ Serahkan saja semuanya pada Tuhan atau kita berdo’a saja kepada Tuhan mudah-mudahan dikasih yang jalan keluar yang terbaik “.Apabila ada yang berkata seperti itu maka dia perlu menyadari makna hakiki dari berserah diri tersebut.


Memang Tuhan memerintahkan kita untuk berserah diri kepada-Nya tapi itu bukan berarti kita tidak melakukan apa-apa.Berserah diri tanpa dibarengi dengan usaha dan do’a maka itu bisa dikatakan Pasrah atau berputus asa.

Jadi,prosesnya yang benar adalah pertama kita harus berusaha,kedua kita berdo’a lalu ketiga kita serahkan semuanya pada Allah semata.Kalo hanya berserah diri dan berdo’a saja maka hal itu keliru.Harus dibarengi dengan usaha agar masalah atau cobaan itu bisa terselesaikan.

Satu hal yang terpenting dari makna hakiki berserah diri adalah kita menyerahkan hidup dan mati kita hanya kepada Allah,Tuhan semesta alam dan menyerahkan seluruh persoalan kepada Tuhan, baik itu persoalan pribadi,masyarakat,apalagi persoalan Negara sesuai dengan hukum yang telah dibuat-Nya di dalam Al Qur’an.Itulah makna hakiki dari berserah diri.